Kini tibalah utusan kaum Muslimin
mendatangi istana Raja Mauqauqis. Saat itu Amr mengutus Ubbadah bin
Shamit sebagai juru runding. Kurang lebih seperti inilah yang disampaikan oleh
Ubbadah dihadapan Raja Mesir dan hulubalangnya:
“Kami memperjuangkan agama ini
tak lain untuk mencari keridhoan Allah. Meskipun harta rampasan perang telah
dihalalkan Allah untuk kami, Tapi kami berjuang bukan untuk itu. Bukan untuk
kekayaan maupun kekuasaan di dunia. Memiliki emas sebesar gunung, ataupun tak
beruang sepeserpun itu tak penting bagi kami, karena tujuan kami di dunia ini
adalah hanya sekedar mengambil sekenyang perut, siang atau malam."
“Ketika kami memiliki kelebihan
harta benda,” Lanjut Ubbadah, “Kami akan segera membelanjakanya di jalan Allah.
Menurut kami, segala nikmat dan kesenangan di dunia ini belumlah pantas disebut
sebagai nikmat, sebab nikmat dan kesenangan yang sejati adalah di akhirat.
Pelajaran itulah yang diajarkan Allah melalui Nabi kami tercinta.”
“Nabi kami memperingatkan agar
hadapilah dunia ini hanya sekedar untuk pengisi perut, penghindar lapar dan
penurup aurat saja. Tujuan utama kami di dunia adalah mencari keridhoan Allah
dengan beramar ma’ruf nahi munkar.”
Ubbadah mengakhiri diplomasinya
bertepatan dengan waktu shalat. Maka shalatlah dia disamping kudanya yang
terikat. Ketika sedang shalat, tiba tiba datang beberapa orang pembesar bangsa
Rum yang kemudian mengolok olok cara beribadah yang dilakukan Ubbadah.
Ubbadah geram. Selesai shalat dikejarlah
para pembesar itu. Melihat nyawanya terancam, mereka lari tunggang
langgang. Untuk mengalihkan perhatian, para pembesar itu melempar berbagai
perhiasan, emas, cincin dan kalung berharga yang mereka pakai dengan harapan
Ubbadah akan teralihkan perhatiannya.
Ternyata, Jangankan mengambilnya,
melirik pun tidak. Sahabat pemberani itu terus fokus mengejar para pembesar Rum
sampai mereka lari ke dalam benteng yang sulit untuk ditembus. Disana, mereka
melempari Ubaddah dengan batu.
Dengan hati dongkol, Ubbadah pun
kembali ke tempat dia bersembahyang tadi tanpa sedikit pun menghiraukan emas
perhiasan yang berserakan di lantai yang tadi dijatuhkan oleh para pembesar
Rum.
Demikianlah kisah yang menggambarkan kekuatan
tekad kaum Muslimin zaman dahulu. Buya Hamka menjelaskan dengan indah, “Keduniaan
mereka pandang sebagai ranting kehidupan yang paling kecil, dan mereka besarkan
usaha mencari keridhaan Allah. Taat kepada perintah Allah dan rasul-Nya.”
“Dengan niat demikian,” Buya
Hamka menambahkan, ”mereka mampu menaklukan bangsa dan kota kota besar kala
itu. Sifat Qana’ah telah meresap ke
dalam urat darah mereka. Mereka berjuang di medan perang tanpa kenal takut demi
satu tujuan supaya kalimat Allah lebih tinggi dari apapun. Itulah yang menyebabkan
agama ini tersebar luas hingga sekarang.”
Dari kisah ini saya belajar,
bahwa jangan harap mampu melakukan hal hal besar, kalau menaklukan diri sendiri
saja tak bisa. Cara menaklukan diri sendiri adalah dengan jalan Qanaah.
Wallahu alam bishawab.
Tentang Qana’ah ini, saya
akan posting kemudian. Mari sama sama belajar. :)
Ditulis di Subang, 13 Juni 2018
Kisah ini disarikan dari buku Tasawuf
Modern karya Buya Hamka.

0 comments:
Post a Comment