Dalam satu kisah, tersebutlah bahwa
balatentara Islam yang dipimpin oleh Amr bin Ash ra. siap menaklukan Mesir. Namun kala itu, perjalanan mereka terhalang oleh sebuah benteng kokoh yang konon dindingnya sulit dirobohkan karena itu adalah warisan
zaman Babylon.
Ketika sedang berdiskusi tentang
bagaimana melewati benteng yang menjulang itu, tiba tiba datanglah seorang utusan
yang dikirim oleh Raja Mesir. Utusan itu
pun menyampaikan pesan yang isinya kurang lebih:
“Wahai Tuan Tuan yang gagah
perkasa. Tidakkah Tuan ingat, bahwasanya dulu Bangsa Tuan adalah tanah jajahan Bangsa
Rum? Negeri Mesir ini juga kini di bawah perlindungan Rum. Kalau Tuan Tuan teruskan
memerangi kami, yakinkah Tuan akan memenangkannya? atau malah Tuan yang akan
kalah dan masuk ke dalam penjara.”
“Maka dari itu,” Lanjut sang
utusan, “Sebelum segalanya terlanjur, ada baiknya kita berembuk terlebih dahulu. Mohon untuk kirim utusan terbaik Tuan
yang pandai bicara, agar kita menemukan jalan keluar yang win win solution.” Kurang lebih begitu yang disampaikan oleh utusan
Raja Mesir.
Setelah utusannya bertemu dengan
Amr bin Ash, Raja Mesir Mauqauqis dilanda gundah. Karena utusannya tersebut tak
kunjung kembali ke istana. Apakah dia dibunuh oleh tentara muslim? Tak bisa
tidur raja Mesir dibuatnya.
Namun setelah dua hari berselang,
utusan itupun kembali ke istana dengan keadaan sehat walafiat.
Dengan penuh riang gembira
Mauqauqis menyambutnya. “Bagaimana keadaan balatentara Islam itu menurut
pandanganmu?” Tanya Mauqauqis.
Sambil menerawang, utusan
tersebut pun menjawab dengan penuh keyakinan,”Wahai Tuan, kaum Muslimin yang kemarin
saya temui adalah kaum yang lebih suka menghadapi maut daripada menghadapi
hayat. Mereka adalah orang orang yang rendah hati, tak ada kesombongan sedikitpun pada
diri mereka. Mereka memeliharaku dengan baik.
“Ketika berkumpul,” Lanjut sang
utusan, “Mereka duduk sama rata di tanah, dan makan pun sambil bersila. Pakaian,
makanan maupun fasilitas pemimpin mereka tak ada beda dengan pasukannya,
sehingga saya tak mampu membedakan mana pimpinan mana bawahan. Mereka tidak ada yang terperdaya oleh dunia dan isinya”
“Selain itu,” Kata sang utusan,”Mereka
memiliki ritual ibadah yang aneh, Tuan. Mula mula mereka basuh tiap-tiap
ujung anggota tubuh mereka dengan air, dan kemudian mereka berdiri sembahyang
dengan amat khusyu’nya.”
Tanpa mampu menyembunyikan rasa
kagetnya, Mauqauqis pun berkata, “Demi Tuhan, berhati hatilah kalian dengan kaum muslimin,
sesungguhnya kaum yang demikian itu, walau dihalangi oleh gunung sekalipun,
semangat juang mereka tak akan pudar. Tidak ada bangsa yang sanggup berhadapan
dengan kaum yang begitu.”
Bersambung…
Ditulis di Subang, 13 Juni 2018 – bertepatan
dengan 28 Ramadhan.
Kisah ini
disarikan dari buku Tasawuf Modern karya Prof. Dr. Hamka
0 comments:
Post a Comment