Saya adalah saya, yang waktu itu bertiga dengan teman kantor sedang memilih menu di rumah makan timbel pas jam makan siang. “Dada ya bu.” Kata saya kepada si ibu waktu memilih menu. Sementara teman saya, Si Andra dan Si Ade malah memilih paha.
Mari kita samakan dulu persepsi, yang saya maksud di sini adalah dada dan paha ayam, tentu saja.
“Digoreng saja, Bu.” Jawab kami kompak.
“Eehmm, kalau ayam yang tadi, itu ayam negeri A..” Kata Si Ibu manggil lagi saya Aa, padahal saya bukan Kakaknya.
“Ayam negeri kalau dibakar kurang enak, banyak airnya.” Tambah si Ibu.
Kami menghuleng. Menghuleng itu artinya tertegun kalau dalam bahasa Indonesia.
“NAAH..” Kata si ibu, yang enak untuk dibakar mah ini, ayam kampung, emang sih agak mahal, tapi rasakan weh nanti A, dijamin gurih.”
Sejenak kami tatap-tatapan, untuk kemudian manggut bersama.
“Ya udah deh bu, ayam kampung saja. 3 yaa.”
“Siap!” Kata si ibu, untuk kemudian dia pergi ke dapur sembari membawa 3 potong ayam kampung yang sudah tak bernyawa, yang telah siap untuk dibakar.
Saya sempat merenungkan kata kata dari si ibu timbel tadi, “ayam negeri banyak airnya, cenderung basah.”
“Ayam kampung dagingnya lebih enak dibanding ayam negeri.”
Kenapa bisa gitu ya?
Pikiran saya pun menerawang ke kehidupan spesies unggas berbulu ini, yang walaupun satu spesies, tapi kehidupan duniawi mereka berbeda bak bumi dan langit.
Seperti yang kita tahu, ayam negeri hidupnya cenderung mewah. Rumah bagus, makanan terjamin (biasanya makannya mengandung pengawet), kalau sakit ada yang obatin, mau minum tinggal pijit keran, bahkan suhu ruangan pun selalu dikontrol oleh tuannya, karena takut kedinginan atau kepanasan yang bikin ayam ini gak nyaman.
Berbeda dengan ayam negeri, jalan hidup ayam kampung sedikit agak miris. Makan seadanya, biasanya biji2an hasil tani tuan-nya, itupun sisa.
Kalau masih lapar, mereka akan melanjutkan pencarian dengan mengais ngais semak belukar untuk memburu cacing, serangga atau apapun yang bisa mengganjel perut.
Tak jarang, mereka harus bersaing dengan hewan lain untuk hanya sekedar makan.
Selain itu, mereka juga harus menghadapi cercaan dan lemparan batu, ketika lupa diri masuk ke pekarangan orang saat nyari makan.
Kasian memang Si Ayam Kampung ini.
Tapi lihat, siapa yang lebih tangguh?
Siapa yang gerakannya lebih lincah?
Siapa yang badannya lebih ringkih dan mudah sakit sakitan? Ayam kampung atau ayam negeri?
Ternyata gemblengan keadaan dan hidup serba kesusahan tak membuat Ayam kampung nge-down.
Dia tetap bersyukur, makan seadanya, dan terus bergembira melanjutkan hidup (selama belum dipotong).
Dan berkat jalan hidupnya ini, dia mampu memberikan harga atau sesuatu yang lebih untuk manusia.
—
Subang, 28 Maret 2018.
Ditulis di Siang bolong, di rumah sambil ngaso dulu dari rutinitas.
