Kalau lagi senggang dan sedang dirundung masalah, biasanya
saya suka berkunjung ke rumah Abah Eman. bukan, beliau bukan dukun. bukan
paranormal, bukan pula seorang peramal.
Beliau adalah kakek saya. Berumur 68 tahun. Dulunya seorang
guru SD, dan kini telah lama pensiun.
Hobinya ngisi TTS, kemudian main halma
dan ular tangga sama cucu cucunya.
Kesehariannya, kalau gak nganter Emih (Nenek) ke pasar,
paling ke sawah atau kalau nggak, suka ngasih makan ikan mas di balong/kolam
kesayangannya.
"Kenapa Den kamu murung kitu?" tanyanya waktu saya
sengaja sowan ke rumahnya. ((kitu = begitu))
"Lieur, Bah. Padamelan di kantor numpuk. teu
anggeus-anggeus. Kadang aya weh masalah na teh." Jawab saya. ((Pusing,
Bah. Kerjaan di kantor numpuk. ga selesai selesai. Selalu saja ada
masalah."
Melihat muka saya yang mengkerut, si abah pun mafhum. Sambil
tersenyum, dia pun berkata, "Euh, semangat atuh. Kamu harusnya bersyukur.
Masih mending kamu mah lelah dan pusing karena bekerja. Tuh lihat di luaran
sana, banyak yang lelah dan pusing karena mencari pekerjaan."
Mendengar perkataan Abah, saya tercenung dalam hati, sambil
diam diam mengiyakan. Melihat saya yang terus tertunduk dan terdiam, Abah pun
melanjutkan,
"Abah punya cerita, nih. Tentang bagaimana caranya kita
bersyukur, bahkan dari hal hal yang sering kita anggap remeh atau sepele. Biar
hidupmu cerah, Den. Ngga mendung wae kayak sekarang. Hehe.."
Saya mulai tertarik. karena saya tahu, cerita cerita Abah
selalu sarat akan makna kehidupan. Yang membuat saya betah berlama lama adalah,
beliau selalu menyampaikannya dengan bahasa sederhana yang mudah dimengerti.
"Jadi begini, Den. Pada zaman dahulu kala, Khalifah
Harun al-Rasyid batinnya sedang kalut. Beliau pun mendatangi Ibn Al-Sammak
untuk meminta nasihat.
Mendengar pemaparan Khalifah, Ibn al-Sammak mempersilakan
beliau untuk meminum dan memakan hidangan yang telah disajikan.
Kemudian Ibn al-Sammak pun berkata, "Wahai tuan, jiga
Tuan ditakdirkan tidak bisa meminum minuman ini, maukah tuan menebusnya dengan
kerajaan tuan?"
"Ya." Jawab sang Khalifah, tegas.
"Jika tuan ditakdirkan tidak bisa kencing, maukah tuan
menebusnya dengan kerajaan Tuan?"
"Ya." Jawab Khalifah lagi.
"Sungguh.." kata Ibn al-Sammak "nilai
kekuasan dan kerajaan itu tidak sebanding, bahkan dengan nikmat minum dan
kencing."
"Ungkapan Ibn al-Sammak menyadarkan kita betapa banyak
nikmat yang selama ini kita abaikan dan tak pernah kita syukuri. Dalam
nasihatnya, Ibn al-Sammak mengambil contoh nikmat yang dianggap paling besar
dan hebat, yaitu nikmat sebagai raja, kemudian membandingkannya dengan nikmat
yang mungkin diangggap remeh dan sepele yaitu kemampuan minum dan
kencing."
Abah Eman tersenyum sejenak.
"Gimana Den, masih mau bermuram durja seperti itu?
minum masih enak? pipis masih enak kan?"
"Enak, Bah." Saya jawab sekenanya.
"Nah, senyum atuh kalau gitu. hehe.." Kata Si Abah
sambil mengacak ngacak rambut saya.
----
Subang, 17 Juli 2017. Ditulis di rumah, ditemani oleh
segelas teh hangat dan seperangkat kipas angin yang dari tadi terus melirik ke kiri dan
ke kanan. Btw, gambar pinjam dari Google.

0 comments:
Post a Comment