Kalau Mbak Dee punya filosofi kopi, maka saya juga ingin belajar berfilosofi, bukan tentang kopi, tapi ini tentang kerupuk. Iya, filosofi kerupuk.
Untuk
yang lahir dan dibesarkan di tanah air yang sekarang dipimpin oleh Pak Jokowi
ini, saya yakin, hampr 99% doyan dengan yang namanya kerupuk. Untuk 1% kaum
yang tak suka, mungkin dia pernah mengalami pengamalan buruk, Seperti keselek
saat lomba makan kerupuk atau mungkin ditampar mantan pakai kerupuk saat
ketauan makan bareng selingkuhan di warteg langganan. Pedih, Jendral!
Untuk
saya, kerupuk sudah seperti candu. Makan nasi, musti ada kerupuk. Makan mie
ayam, musti ada kerupuk. Makan sayur, musti sedia kerupuk. lagi makan ketimun
pun, harus ditemani kerupuk. Itu enak, serius, murah pula, walau bikin kenyang sih ngga.
Untuk kalian yang belum nyoba timun vs kerupuk, itu
enak banget (apalagi kerupuknya dikecapin) kenikmatannya bisa melebihi mie
ramen terlezat sekalipun. Lebay ya? Ya maap, gitu aja meuni marah. :)
Di
Nusantara tercinta, tak hanya bahasa yang beraneka ragam, Negara ini juga memiliki
keanekaragaman kerupuk. Seperti: Kerupuk udang, kerupuk mie, kerupuk kulit (ini
yang sering dipelesetin kalau kulitnya dari kulit sunat. Haha), daan lain
sebagai nya. Bahkan di daerah saya (Subang, Jawa Barat) ada yang namanya
kerupuk melarat. Ini kenapa dibilang melarat, Karena unik, bray. Digorengnya ga
pake minyak, tapi pake pasir. Iye makanya dibilang kerupuk melarat, kaga kebeli
minyak mungkin dulu sejarahnya. Hehe.. tapi positifnya, ini kerupuk bagus untuk
yang lagi diet, karena minim kolestrol katanya. :)) Ga percaya? Main ke Subang
makanya.
Ternyata,
selain enak dan mudah didapat,saya mendapatkan pelajaran kehidupan dari si
kerupuk ini. Lagi makan di warteg,saya pandangi ini si kerupuk anteng-anteng.
Iya juga ya Puk, kita udah temenan lama, tapi gue belajar sesuatu dari lu baru
sekarang.
Kerupuk
adalah barang yang sepele, tapi untuk saya dan mungkin untuk sebagai orang
Indonesia, makan tanpa kerupuk itu bagaikan grup soneta tanpa Pak Haji Rhoma
Irama.Hambar dan serasa ada yang kurang.
Mungkin
kalau si kerupuk bisa ngomong, dia akan berujar,
“Hey,
okelah gue lu anggap remeh. Gue juga ga bergizi-bergizi amat. Tapi makan tanpa
gue, lu merasa ada yang kurang kan? Hehehe..”
Pake
acara ketawa segala lagi dia.
Sama
seperti kerupuk, banyak hal hal yang sering kita anggap sepele, tapi kalau itu
ngga ada, kita akan benar benar merasa kehilangan, dan akan berpikiran: iya ya,
harusnya saya mensyukurinya.
Ketika
ditimpa problema hidup atau tekanan di pekerjaan, kita kadang berkeluh
kesah. Padahal, kalau dihitung hitung, sebesar dan seberat apapun musibah yang
menimpa, nikmat yang Allah beri, jauuuh lebih besar. Imbasnya, kita lupa
bersyukur atau bahkan malah berburuk sangka pada yang kuasa.
Untuk
yang sekarang sehat, mungkin lu nganggap kesehatan adalah hal yang biasa. Hal
yang sepele.
Tapi ketika kesehatan itu direnggut, kita tumbang dan harus nginep
3 hari rumah sakit,baru dah kita akan berpikiran: “iya ya, dulu gue lupa
bersyukur.”
Untuk
yang sekarang lagi kerja, mungkin kita mengganggap sepele itu pekerjaan, malah
kadang kita membencinya. Tapi setelah kita ngobrol dengan teman yang kesana
kemari nyari kerja dan sampe sekarang masih nganggur juga, pasti lu kan berkata
dalam hati:”iya ya, harusnya gue bersyukur.”
Untuk
yang sekarang lagi berumah tangga, kadang kita suka pusing dengan istri yang
hobinya ngomel, tentang anak yang kadang bandel, tentang rumah yang sering
kayak kapal pecah, Tapi setelah kita dengar keluhan teman yang susah cari jodoh
atau teman yang sampai sekarang belum dikasih keturunan, masa sih lu ga
berpikir, : “Iya ya, harusnya gue bersyukur.”
Sebagai
manusia, kita kadang selalu merasa kurang, bahkan kita suka cemas, “ini gaji
cukup ngga yak untuk satu bulan?” Padahal kalau kata Syekh Muhammad al-Ghazali
(Penulis buku best-seller Jaddid Hayatak): "Orang yang takut miskin
sesungguhnya sudah miskin. Orang yang takut hina sesungguhnya sudah hina."
Ketahuilah,
merisaukan apa yang belum terjadi adalah sikap yang sangat keliru dan
membinasakan.
Seseorang kadang menduga-duga akan datangnya kesulitan dan
masalah sehingga jiwanya terus diselimuti kegelisahan dan kepanikan.
Seorang
dokter bernama Dr. Walter Clement Alvarez berkata, “Empat dari setiap lima
pasien saya menderita penyakit yang tidak semata-mata akibat gangguan fisik,
tetapi juga oleh rasa takut, cemas, emosi berlebihan, kehilangan kendali dan
ketidakmampuan berinteraksi dengan lingkungan social.”
Dari
perkataan dokter itu kita belajar, kalau mayoritas penyakit fisik ternyata
berasal dari pola pikir yang salah. Takut, cemas, emosi berlebihan, kehilangan
kendali merupakan imbas dari kurangnya rasa syukur.
Padahal
Rasulullah pernah bersabda, “Barang
siapa yang memasuki pagi hari dengan
perasaan aman di rumahnya, sehat
badannya, dan memiliki makanan untuk
hari itu, maka seolah-olah dunia dan seisinya telah menjadi milik dia.”
HR.al-Tirmidzi.
“Ingatlah!”
Kata Syekh Muhammad al-Ghazali, “Anda memiliki dunia seisinya ketika telah
memiliki ketiga hal di atas, jangan pernah memandangnya remeh!”
Lanjut
menurut Syekh Muhammad al-Ghazali , “Rasa aman, kesehatan dan kecukupan makanan
untuk hari ini (Untuk hari ini ya, jangan terlalu merisaukan hari esok) adalah
kekuatan besar yang mencerahkan akal sehingga bisa berpikir lurus dan tenang.
:)
Akhirul
kalam, bersyukurlah teman. Bersyukurlah walau dari hal yang (menurutmu) kecil seperti kerupuk sekalipun.
Subang,
25 December 2015
Dari
temanmu... Deden Hanafi.
Salam
Kriuk!


Cadasssss..... hade ieu lalampahan, lanjutkan!
ReplyDelete