Bapak saya
adalah orang yang sangat gemar memancing. Uniknya, mancingnya pun bukan di kolam atau balong yang sudah ditanami ikan, tapi beliau lebih senang mancing
di sungai, danau bahkan di rawa.
Kalau dihitung
hitung, bisa seminggu 3 kali beliau memancing. Saya sempat heran dan sering
geleng-geleng kepala, kenapa bapak bisa sesering itu mancing, Mancingnya ga’
hanya di siang hari, tengah malam pun bapa sering keluar sambil bawa-bawa
joran.
Apakah tidak
cape?
Dulu, kala
masih bocah,
saya sering protes karena
hampir tiap hari makan ikan mulu, dimulai dari mujair, belut, gabus hingga
betok. “Bosen atuh, Pak.” Celetuk saya.
“kalau bosen makan mah, ya udah jangan makan,
Den. Lumayan, ngemat beras.” Kata beliau, sambil senyum.
Jleb.
Kemudian bapak
berkata, “Kayanya, Kali kali ini kamu harus ikut bapak mancing, tak hanya
mancing, bapak akan ajak kamu
neger.
Seru, Den!”
Mungkin ada
teman-teman disini yang gak tau apa itu
Neger.
Neger itu mancing-mancing juga, kawan. Bedanya, kalau mancing ditungguin,
sedangkan kalau
Neger....
ditinggalin.
Iya,
ditinggalin.
Jadi cara
mainnya seperti ini, biasanya kita membuat beberapa joran (bisa 10 bahkan 20)
dari bambu. Pangkal dari joran tersebut dibuat meruncing. Fungsinya, untuk
ditancap dipinggir-pinggir danau. Karena akan ditinggalin semalaman,
menancapnya harus kuat, supaya ga kebawa ke tengah danau pas ditarik sama ikan.
Biasanya,
bapak ngajak saya neger pada sore hari. Yaa, jam 4an lah. Sesampainya di danau
yang cukup jauh itu, 20an joran yang kita bawa dan telah diumpani (biasanya
umpannya pake anak katak atau udang), kita tancapkan di beberapa pinggiran
danau. Setelah itu, kita tinggalin dah. Pulang ke rumah, dengan harapan semua
umpannya dicapluk ikan semua.
Nah, besoknya,
sehabis sholat subuh, saya dan bapak harus ke danau lagi, memantau tegeran
kita. :D
Disinilah
uniknya, kita dituntut ga boleh kesiangan. Karena kalau datang telat dikit
saja, tegeran kita pasti sudah pada ada yang nyabutin. Entah siapa yang nyabut,
saya tak mau suudzhon. Karena itulah kawan, kejahatan terjadi bukan karena ada
niat pelakunya, tapi juga karena ada kesempatan.
Kadang, saya
dan bapak harus ke danau dengan setengah berlari, agar tegeran kita ga diambil
orang. Sungguh moment yang sulit dilupakan. Melelahkan tapi Seru sekaligus
mendebarkan. Harap harap cemasnya itu lho, mengasyikan.
Sesampainya di
danau, pemandangan mencengangkan sering kita temukan. Ada joran yang hilang,
ada yang sudah ditarik ikan ke tengah danau, dan ada yang biasa-biasa saja.
Iya, biasa saja karena ga ada ikan yang mau makan umpannya.
Tapi saya dan
bapak tak pernah kecewa, karena kan joran yang kita pasang cukup banyak.
Biasanya, dari sekian joran yang kita pasang, ada sekitar 50% yang
menghasilkan. Gabus, Nila, Betok Mujair, Lele adalah ikan-ikan yang sering
nyangkut. Gede-gede pula.
“inilah
asyiknya neger, Den. Ikan yang kita dapat selalu yang gede-gede.” Kata bapak
saya.
“iya ya,
kenapa bisa seperti ini ya pa?” tanya saya nyengir sambil ngambilin ikan di
joran satu persatu.
Dengan
tersenyum, bapak menjawab dengan ringannya, “Karena kan neger mulainya malam,
Den. Jadi ikan2 yang kecil mah masih pada tidur. hahaha..”
Hehe,
logika yang unik dan waktu kecil saya
percaya-percaya saja.
“Ya udah, yuk
kita pulang, nih ikan-ikannya kamu yang bawa. Ibu sudah menyiapkan
bumbu-bumbunya.”
Sesampainya di
rumah, kita pun makan besar-besaran... dengan ikan.
“Gimana, Den?
Bagaimana rasa ikan gorengnya kali ini?” tanya bapak saya, tetap dengan
senyumnya.
Eh, iya, Saat
diberi pertanyaan seperti itu sama bapak, saya tak langsung jawab. Dalam hati
saya berujar, ini ikan kenapa bisa jadi seenak ini ya? Padahal ikannya sama,
bumbunya sama bahkan wajan dan minyak gorengnya pun masih yang itu-itu saja.
Apakah ibu
saya pakai bumbu rahasia?
Setelah saya
tanyakan, ternyata... tidak.
“Wow, enak
sekali Pak. Padahal ikannya sama ya, dan dari danau yang sama pula.” Kata saya
sambil makan dengan lahapnya.
Sambil
meneruskan makan, bapak senyum kembali.
“Itulah yang
dinamakan dengan nikmat bekerja, Den. Beda ikan goreng yang sekarang dengan
yang kemarin cuma satu,
sekarang mah
kamu ikut bekerja keras mendapatkannya. Kamu jadi tau kan, bagaimana
susahnya mendapatkan ikan-ikan ini. Makanya ikannya jadi lebih gurih. Hehe.”
Hati saya
berdesir. Saya manggut-manggut. Saya jadi merasa berdosa juga kemarin-kemarin
sempat protes.
“Jadi kalau
direnungkan, sebenarnya bekerja itu bukan beban, tapi suatu nikmat. Allah
menyuruh kita bekerja, agar kita bisa mensyukuri nikmat-nikmat perjuangan
seperti ini. Jadi kalau kamu sudah besar nanti, bekerja keras lah terus, agar
kamu selalu mendapatkan kenikmatan-kenikmatan seperti ini.”
Saya ingin
memeluk bapak waktu itu, tapi sayang sedang makan.
“jangan terlalu
memikirkan hasil, Den. Nikmati saja prosesnya. Toh, hasil dari
Neger kita hari ini pun sama kok,
ikan-ikan juga. yang membuatnya semakin nikmat apa coba?” bapak nanya lagi.
“Iya, Pak.
Proses perjuangan mendapatkannya lah yang membuat nikmat.” Jawab Saya.
“Nah itu, kan
kata imam Syafi’i juga:
Berlelah lelahlah, nikmatnya dunia akan kamu
raih setelah lelah bekerja. Selalu tanamkan itu di hati, Den.”
“Siap, pak.”
Nah, ketika
beranjak dewasa, percakapan dengan bapak inilah yang selalu menguatkan saya.
Walaupun lelah-selelah lelahnya setelah bekerja, kalau ingat ini, rasa syukur kembali
merayap seiring aliran darah. Saya pun semangat lagi.
Hatur nuhun,
Gusti.
Akhirnya saya bisa merasakan apa yang dikatakan oleh Mbah Prie GS, "Makan jadi enak karena bekerja."
syuper syekali kang deden. salam buat bapak. nanti macing lagi
ReplyDeletefilosofi yang sangat bagusden, dalam mimpi, ikan adalah simbol rezeki, begitu juga dalam story telling mu ini den... ikan-ikan tersebut adalah rezeki, ayahandamu telah mengajarkan bagaimana cara marketing (mendapatkan ikan) sebar dulu perangkap ikan, tunggu saja ikan akan tiba juga... sama khan saat kita marketing... #YudoMASDATA
ReplyDelete