Monday, 22 April 2013

Kata Bapak, Tentang Berumah Tangga


Di bulan april 2013 ini, hampir setiap sore, Subang selalu diguyur hujan deras. bukan hujan uang, tapi hujan yang masih sama dengan yang turun sejak zaman Samudra Pasai, yaitu hujan air tawar.

Saya yang waktu itu lagi sowan ke rumah orang tua, jelas sangat mensyukuri moment ini. Entahlah, bagi saya, hujan (tanpa petir) di sore hari itu selalu menghadirkan romantisme yang khas.

Dinginnya udara kala itu, seakan memandu kaki saya untuk segera bergegas menuju dapur. Seduh kopi, goreng ubi lalu nongkrong di teras rumah, sambil baca buku-buku baru (baca: buku lama yang belum terbaca) yang telah lama nongkrong tapi belum juga terjamah. Saking lamanya belum dibuka-buka Seakan-akan buku itu hanya barang koleksi, bukan bacaan yang sebenarnya bisa menggali potensi.

Lagi khusyuk-khusyuknya dialog dengan buku, tanpa tahu darimana datangnya, tiba-tiba bapak, duduk manis di samping saya, sambil menenteng secangkir kopi hitam.


Karena ada bapak, Dialog denngan buku langsung saya hentikan. Dengan segala pengorbanan dan jasanya,  tentu saja saya lebih menghormati bapak ketimbang buku yang ada digenggaman ini.

Sambil menyeruput kopi, bapak membuka obrolan. Dengan tersenyum beliau bertanya,

“Bagaimana kerjaan, Den. Lancar?”

“Alhamdulilah lancar, Pak. Nyuhunkeun pidu’a na weh.” -Minta doanya-. Jawab saya.

“Gaji bulanan gimana? Cukup? Hehe..”

Ditanya gaji, saya gelagapan.

“Hehe.Cukup, Pak. Dicukup-cukupkeun lebih tepatnya mah. Alhamdulillah sampai skg masih bisa makan.” Jawab saya, cengengesan.

Mendengar jawaban saya, bapak senyum sebentar, dan bicara lagi,

“Harus disyukuri, Den. Besar kecil itu relatif. Ikhtiar memang harus pol-polan, tapi perihal hasil, sudah ada yang menentukan.” Kata bapak.

“Jangan sampai kamu kufur nikmat. Dikala cobaan datang, jangan pula berputus asa pada rahmat Allah, karena hanya yang kafir yang berputus asa. Dalam keadaan apapun, tetaplah tenang, karena kalau terus berusaha dan berdo’a, Allah pasti ngarizkian.

Setelah menggigit ubi goreng yang ada digenggamannya, Bapak pun melanjutkan. “Cicak saja yang notabene tak bersayap, tetap bisa makan kok. Walau mangsanya adalah nyamuk yang kerjaannya terbang kesana kemari.” Kata bapak dengan senyum yang tak berhenti memudar dari wajahnya.

Di luar hujan mulai reda, tinggal meninggalkan gerimisnya. Entah kenapa, hati saya pun ikutan gerimis. Basah oleh tausyiah.
  
“Iya juga. Bapak bener.” Gumam saya dalam hati.

“Dan satu lagi, Den. Ini perihal pemasukan yang kau dapatkan. Penghasilan yang kau raih tiap bulan dengan susah payah itu, wajib kau setorkan SEMUANYA ke istrimu. Jangan ada yang ditutup-tutupi ataupun kau simpan sendiri.”

“Lah, emangnya kenapa Pak?”

“Jadi begini..” kata bapak sambil menarik nafas panjang, “Sebagai suami, kamu jangan sombong. Mentang-mentang kerja nyari nafkah, kamu malah berbuat seenaknya. Bapak mah yakin, sebagian dari penghasilan mu itu adalah rizki untuk istrimu, bahkan rizki untuk jabang bayi yang ada dalam kandungan Mia saat ini.”

Aih, mendengarnya saya berkaca-kaca. Jujur saja, setiap bulan, tak semua rupiah saya ‘laporkan’ ke istri saya. Ada yang saya simpan, karena waktu itu saya kerja di luar kota.

“Lagian..” bapak menambahkan, “kalaupun nanti kamu butuh apa-apa, kan bisa minta lagi ke istrimu. Dengan keterbukaan ini, enak kan? Kamu tenang, istripun ridho.” Kata bapak sambil tersenyum, untuk kemudian kembali menyeruput kopinya.

“In shaa Allah, dengan keridhoan yang muncul dari hati istri, rizki keluarga mu akan selalu dilancarkan, dan kalian sekeluarga akan mendapat rizki yang tak diduga-duga.” Bapak menambahkan.

Saya manggut-manggut. Bapak senyum. Dan untuk beberapa saat, kita pun menikmati keheningan dengan backsound suara rintik hujan.

“Oh iya satu lagi, tong hilap zakat dan sekedahna.” Bapak terdiam sebentar kemudian menambahkan, “Dan saat bersedekah atau berzakat pun, kamu jangan sembunyi-sembunyi, ajak-ajak anak istrimu ya, Den.
  
“Siapp, Pak.” Kata saya Sambil mencium tangan Bapak. Tangan yang kasar. Akibat dari kerja kerasnya selama ini menghidupi kami.

Ingin saya merangkulnya, tapi gak jadi, karena dari dalam rumah, ibu keburu memanggil.

Dengan beranjaknya Bapak dari tempat duduk, hati saya berdesir dan bersyukur,

“Hatur nuhun Ya Allah, telah menjadikan lelaki tinggi tegap yang kini sudah tak muda lagi ini sebagai Bapak saya. Entah saya akan jadi apa kalau tanpa bimbingannya.”


~ Diketik oleh Deden Hanafi, di rumah orang tuanya. ~
Share:

2 comments: