Di bulan april 2013 ini, hampir setiap sore, Subang selalu diguyur hujan deras. bukan hujan uang, tapi hujan yang masih sama dengan yang turun sejak zaman Samudra Pasai, yaitu hujan air tawar.
Saya yang waktu itu lagi sowan ke rumah orang tua, jelas
sangat mensyukuri moment ini.
Entahlah, bagi saya, hujan (tanpa petir) di sore hari itu selalu menghadirkan
romantisme yang khas.
Dinginnya udara kala itu, seakan memandu kaki saya untuk segera
bergegas menuju dapur. Seduh kopi, goreng ubi lalu nongkrong di teras rumah,
sambil baca buku-buku baru (baca: buku lama yang belum terbaca) yang telah lama nongkrong tapi belum juga
terjamah. Saking lamanya belum dibuka-buka Seakan-akan buku itu hanya barang koleksi, bukan bacaan yang
sebenarnya bisa menggali potensi.
Lagi khusyuk-khusyuknya dialog dengan buku, tanpa tahu
darimana datangnya, tiba-tiba bapak, duduk manis di samping saya, sambil
menenteng secangkir kopi hitam.
Karena ada bapak, Dialog denngan buku langsung saya
hentikan. Dengan segala pengorbanan
dan jasanya, tentu saja saya
lebih menghormati bapak ketimbang buku yang ada digenggaman ini.
Sambil menyeruput kopi, bapak membuka obrolan. Dengan
tersenyum beliau bertanya,
“Bagaimana kerjaan, Den. Lancar?”
“Alhamdulilah lancar, Pak. Nyuhunkeun pidu’a na weh.” -Minta doanya-. Jawab saya.
“Gaji bulanan gimana? Cukup? Hehe..”
Ditanya gaji, saya gelagapan.
“Hehe.Cukup, Pak. Dicukup-cukupkeun lebih tepatnya mah. Alhamdulillah sampai skg masih bisa makan.” Jawab saya, cengengesan.
Mendengar jawaban saya, bapak senyum sebentar, dan bicara
lagi,
“Harus disyukuri, Den. Besar kecil itu relatif. Ikhtiar
memang harus pol-polan, tapi perihal hasil, sudah ada yang menentukan.” Kata
bapak.
“Jangan sampai kamu kufur nikmat. Dikala cobaan datang,
jangan pula berputus asa pada rahmat Allah, karena hanya yang kafir yang berputus asa. Dalam keadaan apapun, tetaplah tenang, karena
kalau terus berusaha dan berdo’a, Allah pasti ngarizkian.”
Setelah menggigit
ubi goreng yang ada digenggamannya, Bapak pun melanjutkan. “Cicak saja yang notabene tak bersayap, tetap bisa
makan kok. Walau mangsanya adalah nyamuk yang kerjaannya terbang kesana
kemari.” Kata bapak dengan senyum yang tak berhenti memudar dari wajahnya.
Di luar hujan mulai reda, tinggal meninggalkan gerimisnya. Entah kenapa, hati saya pun ikutan gerimis. Basah oleh tausyiah.
“Iya
juga. Bapak bener.” Gumam saya dalam hati.
“Dan satu lagi, Den. Ini perihal pemasukan yang
kau dapatkan. Penghasilan yang kau raih tiap bulan dengan susah payah itu, wajib kau setorkan SEMUANYA
ke istrimu. Jangan ada yang ditutup-tutupi ataupun kau simpan sendiri.”
“Lah, emangnya kenapa Pak?”
“Jadi begini..” kata bapak sambil menarik nafas panjang, “Sebagai
suami, kamu jangan sombong. Mentang-mentang kerja nyari nafkah, kamu malah berbuat
seenaknya. Bapak mah yakin, sebagian
dari penghasilan mu itu adalah rizki untuk istrimu, bahkan rizki untuk jabang bayi yang ada dalam
kandungan Mia saat ini.”
Aih, mendengarnya saya berkaca-kaca. Jujur saja, setiap
bulan, tak semua rupiah saya ‘laporkan’ ke istri saya. Ada yang saya simpan,
karena waktu itu saya kerja di luar kota.
“Lagian..” bapak menambahkan, “kalaupun nanti kamu butuh
apa-apa, kan bisa minta lagi ke istrimu. Dengan keterbukaan ini, enak kan? Kamu
tenang, istripun ridho.” Kata bapak sambil tersenyum, untuk kemudian kembali
menyeruput kopinya.
“In shaa Allah, dengan keridhoan yang muncul dari hati
istri, rizki keluarga mu akan selalu dilancarkan, dan kalian sekeluarga akan mendapat rizki yang
tak diduga-duga.” Bapak menambahkan.
Saya manggut-manggut. Bapak senyum. Dan untuk beberapa saat, kita pun menikmati
keheningan dengan backsound suara
rintik hujan.
“Oh iya satu lagi, tong hilap zakat dan sekedahna.” Bapak
terdiam sebentar kemudian menambahkan, “Dan saat bersedekah atau berzakat pun,
kamu jangan sembunyi-sembunyi, ajak-ajak
anak istrimu ya, Den.
“Siapp,
Pak.” Kata saya Sambil mencium tangan Bapak. Tangan yang kasar. Akibat dari kerja kerasnya selama ini menghidupi kami.
Ingin saya
merangkulnya, tapi gak jadi, karena dari dalam rumah, ibu keburu memanggil.
Dengan
beranjaknya Bapak dari tempat duduk, hati saya berdesir dan bersyukur,
“Hatur nuhun Ya
Allah, telah menjadikan lelaki tinggi tegap yang kini sudah tak muda lagi ini
sebagai Bapak saya. Entah saya akan jadi apa kalau tanpa bimbingannya.”
~ Diketik oleh Deden Hanafi, di rumah orang tuanya. ~
~ Diketik oleh Deden Hanafi, di rumah orang tuanya. ~

Subhanallah Den! :)
ReplyDeleteWah orang tua yg bijak dan perhatian sama anaknya :)
ReplyDelete