Bila ditanya siapa karakter favorit saya dalam epos Mahabharata, tanpa pikir panjang saya akan langsung menjawab: Abhimanyu.
Kekaguman saya terhadap Abhimanyu semakin kuat setelah menonton video Kang Tanganbelang di YouTube — tentang bagaimana heroiknya putra Arjuna ini mengobrak-abrik formasi perang paling mematikan yang dirancang khusus oleh Mahaguru Drona: Cakravyuha.
Konon, di pihak Pandawa, hanya tiga orang yang benar-benar memahami formasi ini: Sri Kresna, Arjuna, dan Abhimanyu.
Namun yang unik, Abhimanyu hanya tahu cara masuk ke Cakravyuha, tapi tidak tahu cara keluarnya. Ia belajar setengah jalan — namun dengan separuh pengetahuan itu, ia tetap melangkah tanpa ragu. Dengan gagah berani, ia menembus lapisan-lapisan pasukan Kurawa hingga ke lingkaran terdalam Cakravyuha.
Secara militer, Cakravyuha adalah formasi spiral bertingkat — setiap lapisan dijaga oleh pasukan yang berputar dalam sinkronisasi ritmis. Jadi, keluar dari Cakravyuha bukan sekadar soal kekuatan, tapi tentang irama, arah, dan pemahaman terhadap gerak semesta.
Namun jika kita pandang dari sisi batin, Cakravyuha bukan sekadar strategi perang — ia adalah metafor dunia. Dunia yang terus berputar seperti roda: lahir, tumbuh, berjuang, mengejar, kecewa, kehilangan, dan akhirnya pulang. Masuknya penuh api — ambisi. Keluarnya lewat air — keikhlasan.
Selama kita masih ingin menang, kita masih berada di dalam pusaran.
Karena “menang” selalu berarti masih ada lawan.
Masih ada “aku” yang ingin lebih tinggi dari “yang lain.”
Dan di situlah Cakravyuha menjaga kita tetap berputar — dalam bentuk ambisi, gengsi, bahkan spiritualitas yang ingin dianggap suci.
Begitu kita berhenti berjuang untuk menang, bukan berarti kita menyerah.
Kita tetap bertindak, tapi tanpa pamrih.
Kita masih menembus, tapi tanpa ingin menaklukkan.
Kita masih hidup, tapi tanpa ingin dikenal hidup.
Di titik itu, pusaran perlahan berhenti.
Dan jalan keluar mulai tampak — bukan karena kita berhasil menaklukkannya, tapi karena kita berhenti menaklukkan.
“Ketika kau berhenti ingin menang, barulah kau menang atas dirimu sendiri.”“Cakravyuha pun terbuka bukan karena kau memecahkannya, tapi karena kau berhenti menggenggamnya.”
Selama masih ada “aku”, pandangan kita akan tertutup oleh bayangannya sendiri.
Namun ketika “aku” itu tiada, cahaya-Nya memenuhi segalanya.
Dan di titik itu — bukan kita yang mencintai Tuhan,
tapi Tuhan yang mencintai lewat diri kita.
Abhimanyu mewakili jiwa muda yang penuh semangat menembus kehidupan.
Ia bisa masuk karena keberanian dan ambisi.
Namun ketika sampai di tengah pusaran, ia belum siap untuk tidak menjadi apa-apa — dan di sanalah ia terhenti.
“Cakravyuha adalah pusaran keakuan.Setiap langkah menuju pusat adalah upaya menjadi tiada.Di sanalah pintu keluar terbuka — bukan karena kita hebat,tapi karena kita sudah tidak lagi ada.”
Lakukan ikhtiar dengan seluruh raga, tapi kosongkan dada.
Sebab hasil bukan di tanganmu, tapi di genggaman-Nya.
Mungkin, itu juga kunci keluar dari Cakravyuha:
Bukan berhenti bergerak, tapi bergerak tanpa menggenggam.
Dan mungkin… inilah rahasia yang ingin disampaikan semesta melalui kisah Abhimanyu:
Ia menembus dengan keberanian, tapi terjebak karena masih menggenggam.
Sedangkan jalan keluar hanya terbuka bagi mereka yang bergerak tanpa ingin memiliki arah.

0 comments:
Post a Comment