Sunday, 22 January 2017

Filosofi Gigi


Bapak pernah bilang, “Sing saha jalma nu apal diri na, maka bisa kenal ka Gusti na.” Itu dalam bahasa Sunda kawan, mungkin kalau di Indonesia kan, kurang lebih artinya Siapa yang kenal diri nya, maka dia bisa mengenal tuhannya.

Pepatah ini sampai sekarang terus saya renungi.

Kemarin, saat lagi di Bandung, saya menyempatkan ke toko buku Toga Mas yang ada di Jl. Supratman. Menurut saya, tak ada destinasi terbaik di Bandung selain toko buku. Mungkin ini terlalu naif, tapi dulu, saat pertama kali memasuki dunia kerja, selain keluarga, bukulah yang membuat saya semangat . Pikir saya kala itu, saya harus giat bekerja, biar bisa dapat uang, karena saya yakin, pemilik toko tak akan mau bukunya ditukar dengan kacang tanah.

Saat lagi asyik milih milih, saya menemukan satu buku, judulnya: Orang Maiyah karya Emha Ainun Nadjib. Ukuran bukunya lebih besar sedikit dari buku saku pramuka. Kecil. Halamannya pun ga tebel tebel amat. Tapi saat saya baca ulasannya, sepertinya menarik.

Sebenarnya buku ini bukan pyur karya Mbah Nun. Di awal buku beliau menulis:

“Ini adalah buku karya orang maiyah. Orisinal. Saya hanya berposisi sebagai semacam polisi lalu lintas untuk menata laju kendaraan cintan dan ilmu orang orang Maiyah. Tidak ada satu huruf pun saya ubah, revisi atau perbaiki. Saya tidak lebih baik dari siapapun dalam hal apapun.”

Buku ini terdiri dari 16 tulisan orang Maiyah. Tiap artikel langsung tamat. Kayak kumpulan cerpen yang dibukukan gitu. Artikel artikel nya ringan tapi membuat kita merenung lama. Dari 16 artikel tersebut, ada satu yang membuat saya tersenyum saat membacanya, judulnya: BULATAN KEHIDUPAN DAN ILMU GIGI.

Berikut salah satu kutipannya, Silakan dibaca, Kawan.

“Orang maiyah menemukan ilmu, kesejatian, cinta, kebahagiaan, dan Allah cukup hanya dengan memandang giginya tatkala sedang berkaca. Disana mereka bersyukur bahwa Allah mengambil keputusan untuk tidak membiarkan gigi terus tumbuh.”
Sambil baca, saya melihat Shafa, anak saya yang gigi nya baru pada tumbuh. Tumbuhnya tak merata, geraham udah ada, tapi gigi depannya masih bolong bolong, sepertinya akibat kebanyakan permen dan coklat. saya pun berdoa, “Ya Allah, tumbuhkanlah gigi anak saya ini. Kasian, kalau lagi nyengir debu pada masuk.”

Tapi setelah membaca artikel ini, doa nya pun saya tambah, “Tapi pertumbuhannya jangan terlampau panjang ya Gusti. Normal normal saja, seperti manusia pada umumnya.”

Benar kata orang bijak, “Manusia itu sulit bersyukur terhadap apa yang mereka dapatkan secara cuma-cuma.”

Padahal, kalau gigi kita terus tumbuh hingga sekarang, hingga umur 28 tahun misalnya, betapa menyeramkan dan menyiksanya hidup ini. Kita bakalan susah makan buah-buahan. Buat makan mangga saja, kayanya harus di-blender dulu.

Hatur nuhun gusti Allah.

--
Subang, 22 Januari 2017. Ditulis di rumah, sambil nunggu nasi goreng spesial buatan bundanya Shafa. 
Share:

0 comments:

Post a Comment