Sunday, 10 May 2015

2 Nafkah Yang Harus Dipenuhi Kepala Keluarga


Dulu, di dekat kampus, ada toko buku bagus. Memang, buku yang diperjualbelikan sudah tak baru lagi, tapi bukunya asli, bukan hasil cetak tukang fotocopyan.

Saking seringnya main, saya sampai akrab dengan Kang Iman, penjaga toko buku tersebut. Selain merekomendasikan beberapa buku berkualitas, Kang Iman, yang kebetulan umurnya diatas saya, juga sering menasehati. Disela sela candaanya yang renyah, dia pernah bilang: "Den, Udah nikah belum?"

"Belum kang." Jawab saya. waktu itu saya memang belum nikah. boro-boro mikirin nikah, bab 4 skripsi aja ditolak mulu.

"Gini, Den." Kang Iman melanjutkan, "Pokoknya, kalau kamu sudah menjadi kepala rumah tangga, istri dan anakmu harus kamu nafkahi di dua tempat ini." Kata Kang iman sambil dia menunjuk kepala dan perutnya.

"Ya, yang pertama nafkah ilmu. Caranya terserah kamu, bisa lewat buku, pengajian ataupun pengalaman pengalaman berharga. Dan yang kedua tentu saja, jangan biarkan anak istrimu kelaparan. Hehe. karunya." Tandas Kang Iman sambil menepuk pundak saya.

Karunya itu bahasa Sunda, Kawan. artinya: Kasian.

"Siap, Kang. Hatur nuhun ilmunya."

Kata kata Kang Iman ini terus saya ingat hingga sekarang. Sampai saya berkeluarga dan memiliki seorang anak. Dan dari situlah saya yakin, kalau sebuah kata-kata atau quotes (kata kata mutiara) itu bisa membangun seseorang menjadi lebih baik.

Hal ini selaras dengan yang dikatakan oleh Pak Hernowo lewat bukunya yang berjudul Vitamin T. apa itu vitamin T? Penemuan barukah? Vitamin ini memang tak pernah muncul di pelajaran Biologi, karena memang tak terkandung dalam makanan. Vitamin T ini artinya Vitamin Teks. Singkatnya, kalau vitamin A,D,E,K itu untuk tubuh, sedangkan Vitamin T untuk otak.

Pak Hernowo yakin, Teks atau dalam hal ini bacaan, bisa merubah seseorang menjadi lebih baik ataupun lebih buruk. tergantung yang dibacanya, vitamin atau... racun.

Bahkan dalam salah satu seminarnya, Pak Mario Teguh pernah berkata, bila kehidupan mu ingin baik, perbaikilah dua aspek kebahasaan ini, yaitu: BERBICARA & MENULIS.

Sekarang saya tahu, kenapa Bapak saya selalu menyuruh untuk belajar berbicara di depan khalayak ramai. Sekilas nampak mudah, wong tinggal pegang mic, lalu cuap cuap ngalor ngidul. Ternyata tak sesederhana itu, Kawan. Pertama kali saya bicara depan umum (waktu itu di acara kultum sebelum shalat tarawih), semua materi yang dihapal, hilang semua!.

Saya gelagapan. Padahal persiapan sudah matang abis. Mau turun gengsi, mau lanjut grogi. Walhasil, saya cuma bisa cengengesan.

Besoknya..... Saya dibully oleh teman-teman sekampung. Kamfret memang!

Tapi tak apa, kalau diingat-ingat, ternyata itu pengalaman berharga, saya suka senyum senyum sendiri kalau mengingatnya. :)

PS: Perbanyaklah membaca Nak. Membaca apa saja, tak hanya buku. Agar bicara mu terarah dan tulisan-tulisanmu bermakna. Tak apa sekali-sekali becanda, kita semua perlu tertawa, asal jangan menertawakan penderitaan orang lain.


---Bapakmu, Deden Hanafi.

Ditulis di Subang, 10 Mei 2015. Saat musim batu akik melanda negeri.
Share:

1 comment:

  1. Mantap mang, terima kasih tulisannya sangat menginspirasi

    ReplyDelete